CILEGON, WILIP.ID – Di Kota Baja, parkir bukan sekadar soal lahan kosong yang ditutup seng dan dipenuhi deretan motor serta mobil. Ia kini dilihat sebagai sumber baru untuk mengisi pundi-pundi Pendapatan Asli Daerah (PAD). Pemerintah Kota Cilegon tengah menyiapkan langkah serius untuk menertibkan sekaligus mengoptimalkan usaha penitipan kendaraan roda dua dan roda empat.
Isyarat itu menguat saat Satuan Tugas PAD menggelar rapat koordinasi di ruang Asisten Daerah, Senin, 22 September 2025. Hadir lintas dinas—mulai dari BPKPAD, Dinas Perhubungan, DPMPTSP, Satpol PP, hingga Dinas Kominfo. Semua satu suara: parkiran tak bisa lagi jadi bisnis abu-abu.
Plt. Asisten Daerah II, Ahmad Aziz Setia Ade Putra, yang memimpin rapat itu, mengungkapkan bahwa tahap pertama adalah sosialisasi. Tiga kecamatan bakal jadi laboratorium awal: Jombang, Cilegon, dan Cibeber. “Ada 22 titik usaha di 15 lokasi yang kami bidik. Kami ingin para pengelola tenang menjalankan usaha karena legalitasnya jelas, sekaligus berkontribusi pada pembangunan daerah,” kata Aziz.
Langkahnya jelas: DPMPTSP mengawal penerbitan izin usaha, sementara BPKPAD menyiapkan Nomor Pokok Wajib Pajak Daerah (NPWPD). Satpol PP mengawasi lapangan, Dishub memetakan teknis, dan Kominfo menyiapkan instrumen sosialisasi. “Kami akan dampingi agar izin cepat terbit dan kontribusi pajak segera terealisasi,” ujar Aziz, menegaskan.
Bagi Pemkot Cilegon, parkiran bukan cuma soal ketertiban. Ia adalah peluang menambah PAD dari sektor yang selama ini nyaris tak tersentuh. Padahal, geliat usaha penitipan kendaraan di kota industri ini tumbuh subur seiring padatnya arus kendaraan, terutama di sekitar kawasan perdagangan, pabrik, dan terminal.
Kepala DPMPTSP, Hayati Nufus, menyebut pihaknya siap jemput bola membantu para pengelola mengurus izin. “Legalitas itu bukan sekadar aturan. Ia adalah jaminan usaha berjalan aman, sekaligus kontribusi nyata ke kas daerah,” katanya. Ia menambahkan, perizinan tak lagi dimaknai sekadar dokumen, melainkan pintu masuk bagi kepastian hukum dan kepastian investasi.
Di satu sisi, kebijakan ini bisa memberi ruang aman bagi pelaku usaha kecil yang menggantungkan hidup dari jasa penitipan kendaraan. Tapi di sisi lain, penertiban ini juga ujian: apakah Pemkot mampu menyeimbangkan antara kepentingan menambah PAD dan menjaga iklim usaha rakyat kecil agar tak terbebani regulasi?
Yang jelas, parkiran di Cilegon tak lagi sekadar lapak dadakan berteralis bambu. Ia kini jadi taruhan bagi serius-tidaknya Pemkot menggarap potensi PAD non-tradisional. Pertanyaannya: mampukah strategi ini menghasilkan manfaat ganda—menambah pendapatan daerah tanpa mematikan napas usaha kecil di akar rumput.
(Elisa/Red*)