Oleh: Faizudin, M.Pd., M.M. / Akademisi Al Khairiyah
“ASN adalah pelayan publik, bukan broker proyek. Jika ikut bermain APBD, maka mereka sedang mengkhianati mandat rakyat.”
Fenomena aparatur sipil negara (ASN) ikut cawe-cawe dalam proyek Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) bukanlah isu baru. Namun, praktik yang sudah lama menjadi bisul dalam birokrasi ini tak kunjung pecah. Ia terus bernanah, menyebarkan infeksi pada tubuh tata kelola pemerintahan.
Dalam desain ideal pemerintahan modern, ASN ditempatkan sebagai pelayan publik yang netral, profesional, dan steril dari konflik kepentingan. Tetapi begitu ASN terjun mengatur proyek, garis batas itu runtuh. Status abdi negara bergeser menjadi pemain dengan kepentingan ganda. Netralitas hilang, konflik kepentingan tak terelakkan.
Dampaknya bukan sekadar pelanggaran etik. Publik kehilangan rasa percaya. Kantor pemerintahan dipersepsikan sebagai loket makelar proyek, bukan pusat pelayanan. Birokrasi berubah wajah: dari rumah rakyat menjadi mesin rente. Legitimasi pemerintah daerah pun terkikis, perlahan tapi pasti.
Padahal aturan sudah terang. PP Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin PNS hingga Undang-Undang Tipikor menyiapkan palu hukuman: penurunan jabatan, pemecatan, bahkan bui. Tetapi aturan keras selalu mandul di lapangan. Lemahnya penegakan hukum, longgarnya pengawasan, dan budaya permisif membuat praktik ini terus hidup, bahkan dianggap lumrah.
Solusi jelas tidak bisa hanya mengandalkan cambuk hukuman. Yang dibutuhkan adalah pembenahan menyeluruh: reformasi birokrasi berbasis integritas. Pendidikan antikorupsi harus menjadi kurikulum wajib ASN. Sistem merit perlu ditegakkan tanpa tawar-menawar. Proses pengadaan barang dan jasa harus dipaksa transparan melalui digitalisasi. Tanpa itu, jargon “birokrasi bersih dan melayani” hanya tinggal retorika murahan.
Kasus dugaan lurah yang ikut bermain proyek APBD di Cilegon adalah cermin nyata betapa seriusnya masalah ini. Lurah, yang seharusnya menjadi jembatan aspirasi warga, justru tergoda menjelma broker anggaran. Praktik semacam ini bukan hanya menodai amanah publik, tetapi juga merusak distribusi pembangunan. Yang diuntungkan hanya segelintir orang, sementara masyarakat luas menanggung ketidakadilan.
Karena itu, Wali Kota mesti turun tangan. Bukan sekadar imbauan moral, melainkan langkah tegas: pengawasan ketat, penegakan hukum tanpa pandang bulu, serta pelibatan masyarakat dan lembaga independen dalam memantau jalannya proyek APBD. Transparansi bukan pilihan, melainkan keharusan jika ingin menjaga kepercayaan rakyat.
ASN harus kembali ke jati dirinya: abdi negara, bukan makelar proyek. Mereka ditugaskan untuk memastikan setiap rupiah APBD kembali ke rakyat, bukan menguap ke kantong calo. Bila praktik ini terus dibiarkan, kerusakan birokrasi hanya menunggu waktu. Dan yang runtuh bukan hanya institusi pemerintahan, melainkan juga mandat rakyat yang mereka khianati.
Cilegon, 26 September 2025