Muchsin Mansyur: Cilegon, Kota Industri yang “Lahir Tanpa Tangis”

oplus_0
banner 120x600

CILEGON, WILIP.ID – Ada kalimat yang menggugah kesadaran kolektif sore itu, terucap lirih namun tajam dari mulut seorang praktisi pelabuhan, Muchsin Mansyur. Dalam forum diskusi yang digelar KADIN Kota Cilegon, Rabu 8 Oktober 2025 di Sapphire The Royal Krakatau, ia melontarkan metafora yang mengguncang ruang pikir:

“Cilegon itu seperti bayi yang lahir tanpa tangis.”

Sebuah perumpamaan yang terdengar puitis, tapi menyimpan kritik sosial yang dalam. “Biasanya bayi yang lahir menangis. Kalau tidak, orang tuanya khawatir. Tapi Cilegon lahir justru disambut tawa — karena waktu itu banyak uang, banyak petrodolar,” ujarnya, menegaskan sindiran bernada getir.

Metafora itu menggambarkan paradoks kota yang dikenal sebagai jantung industri baja nasional. Cilegon lahir dari rahim kemewahan ekonomi, tapi kehilangan “tangis” — kehilangan ruh perjuangan dan pemberdayaan yang seharusnya menyertai kelahiran sebuah daerah otonom.

Kemewahan Industri, Kemandirian yang Hilang

Cilegon sering digambarkan sebagai kota dengan denyut baja dan aroma dolar. Di sinilah raksasa industri seperti Krakatau Steel, kawasan pelabuhan, dan deretan pabrik multinasional menancapkan kukunya. Namun di balik megahnya kawasan industri, ada ironi yang belum terurai: kesejahteraan masyarakat lokal tertinggal di balik tembok-tembok pabrik.

“Cilegon itu kaya duluan, tapi belum berdaya,” kata Muchsin lugas.

Industri tumbuh cepat, tapi pondasi sosial-ekonomi masyarakatnya belum ikut menguat. Banyak warga hanya menjadi penonton dari geliat ekonomi yang seharusnya mereka rasakan.

Cilegon seolah menjadi rumah megah dengan pondasi yang rapuh — berdiri gagah tapi rapuh dari dalam. Ia kuat karena baja, tapi lemah dalam pemerataan ekonomi.

Menempa Ulang Arah Ekonomi

Kini, Cilegon berada di simpang jalan sejarah: terus bergantung pada industri besar yang padat modal namun minim inklusi, atau menempuh arah baru — membangun ekonomi rakyat yang kuat dan mandiri.

Menurut Muchsin, kuncinya ada pada perubahan paradigma pembangunan: dari sekadar “mengundang investor” menjadi “memberdayakan pelaku lokal”.

Salah satu peluang konkret ada di sektor pelabuhan. Pelabuhan Cilegon Mandiri (PCM) disebutnya sebagai momentum strategis untuk mengubah wajah kota. Bila dikelola secara efisien dan melibatkan masyarakat, PCM bisa menjadi poros ekonomi baru yang tidak hanya mengalirkan barang, tapi juga kesejahteraan.

“Dulu Cilegon lahir dalam kemewahan, sekarang saatnya tumbuh dalam pemberdayaan,” tutupnya.

Cilegon memang lahir tanpa tangis. Tapi bukan berarti ia harus tumbuh tanpa suara. Kota ini masih punya kesempatan untuk berbicara — dengan bahasa kemandirian, keberdayaan, dan keberpihakan pada rakyatnya sendiri.

 

(Elisa/Red*)