SERANG, WILIP.ID — Di tengah gegap gempita peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) Kabupaten Serang ke-499, suara lantang dari kalangan mahasiswa memecah euforia perayaan. Mereka menuntut pemerintah daerah agar tidak menutup mata terhadap dugaan praktik korupsi dalam proyek Website Desa yang hingga kini tak jelas juntrungannya.
Sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam Gerakan Mahasiswa Peduli Sosial (GEMPAS) Serang Raya menilai proyek digitalisasi desa itu justru menjadi cermin buram dari tata kelola pemerintahan daerah. Alih-alih memperkuat transparansi informasi publik, proyek tersebut diduga berubah menjadi lahan empuk bagi segelintir pihak untuk mengeruk keuntungan pribadi.
“Proyek ini digagas untuk memperkuat pelayanan publik di tingkat desa, tapi nyatanya malah penuh tanda tanya. Ada dugaan monopoli vendor, penyimpangan prosedur pengadaan barang dan jasa, hingga indikasi gratifikasi antara oknum pejabat dan penyedia jasa,” ujar Abdur Rosyid, Koordinator GEMPAS, dalam pernyataannya, Kamis (9/10).
Menurut hasil kajian mahasiswa, proyek Website Desa seharusnya menjadi bagian dari amanat Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Melalui program ini, setiap desa diharapkan memiliki portal resmi yang memuat data keuangan, kegiatan, dan kebijakan publik agar masyarakat bisa ikut mengawasi.
Namun, kenyataan di lapangan jauh panggang dari api. Banyak desa bahkan tak tahu menahu soal keberadaan situs tersebut. “Tidak ada satu pun masyarakat desa yang benar-benar bisa mengakses website yang dijanjikan itu,” tutur Abdur.
Mahasiswa menduga, praktik penggelembungan anggaran (mark-up) dan penunjukan langsung tanpa mekanisme lelang terbuka terjadi dalam proses pengadaan proyek itu. Indikasi pelanggaran terhadap UU Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pun menguat.
“Sudah bertahun-tahun kasus Website Desa ini bergulir tanpa arah. Padahal dananya bersumber dari APBD Kabupaten Serang. Seharusnya uang rakyat ini digunakan untuk kepentingan masyarakat desa, bukan untuk memperkaya kelompok tertentu,” kata Abdur.
Bagi GEMPAS, praktik semacam ini adalah bentuk pengkhianatan terhadap cita-cita pembangunan daerah. Mereka menyoroti paradoks antara jargon “Serang Maju dan Berdaya” dengan realitas di lapangan: infrastruktur dasar masih timpang, kemiskinan tetap tinggi, dan digitalisasi publik macet di meja birokrasi.
Mahasiswa mendesak Bupati Serang, DPRD, serta aparat penegak hukum (Kejari dan Tipikor Polda Banten) untuk membuka hasil audit proyek secara transparan, memproses hukum para pihak yang terlibat, dan memperkuat pengawasan terhadap penggunaan anggaran publik.
“Kami tidak ingin peringatan HUT Kabupaten Serang hanya jadi ajang seremonial dan pencitraan. Ini momentum refleksi dan evaluasi total terhadap tata kelola pemerintahan yang masih koruptif dan tertutup,” tegas Abdur.
Sebagai tindak lanjut, GEMPAS berencana menggelar aksi demonstrasi dan audiensi publik dalam waktu dekat. Tujuannya: menuntut penegakan hukum yang tegas sekaligus mendorong lahirnya sistem informasi desa yang benar-benar terbuka dan bisa diakses masyarakat.
Tuntutan Mahasiswa GEMPAS:
Mendesak Pemkab Serang dan DPRD membuka hasil audit proyek Website Desa secara publik.
Menuntut aparat penegak hukum menuntaskan penyelidikan dugaan korupsi dan gratifikasi.
Menolak segala bentuk monopoli dan penunjukan langsung dalam proyek digitalisasi desa.
Mendorong transparansi penggunaan APBD sesuai prinsip Good Governance dan Open Government.
(Has/Red*)